Allah menciptakan dunia tidak
untuk main-main atau sendau gurau, tetapi Allah menciptakannya untuk
suatu hikmah yang agung, sebagaimana firman Allah:
إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai
perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang
terbaik perbuatannya". [Al Kahfi :7].
Allah menciptakan dunia
tidak lain ialah sebagai ladang kampung akhirat dan kampung untuk
beramal. Sedangkan akhirat sebagai kampung menuai balasan. Barangsiapa
mengisi dunia dengan amal shalih, niscaya ia akan menuai keberuntungan
di dua kampung tersebut. Sebaliknya, barangsiapa yang menyia-nyiakan
dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya. Dunia bukanlah
segala-galanya, akan mengalami kehancuran. Ia hanya jembatan
penyeberangan belaka. Segala prasarana dan sarana yang Allah adakan di
dunia ini, harta, kekuasaan dan lain-lain, semestinya dioptimalkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan yang lebih besar, meraih kehidupan
akhirat yang paling baik.
Karena itu, pada hakikatnya dunia
tidak tercela dzatnya. Pujian atau celaan tergantung pada tindak-tanduk
seorang hamba dalam menjalani siklus kehidupannya di dunia. Sekali lagi,
dunia, kehidupannya bersifat maya.
Kehidupan yang baik yang
diperoleh penduduk surga, tidak lain karena kebaikan dan amal shalih
yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia adalah kampung
jihad, shalat, puasa dan infak di jalan Allah, serta medan untuk
berlomba dalam kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada
penduduk surga, artinya :
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَآأَسْلَفْتُمْ فِي اْلأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
"(Kepada mereka dikatakan) “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan
amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di
dunia)”. [Al Haqqah : 24].
Selayaknya kita bersiap diri
meninggalkan kampung dunia menuju kampung akhirat dengan selalu menambah
simpanan amal kebaikan dan bersegera memenuhi panggilan Allah.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya dunia
telah habis berlalu dan akhirat semakin mendekat. Dan masing-masing
mempunyai anak keturunan. Jadilah kalian anak keturunan akhirat dan
jangan menjadi anak keturunan dunia, karena sekarang kesempatan beramal
tanpa ada hisab (peratnggungjawaban) dan besok di akhirat masa
perhitungan amalan dan tidak ada kesempatan beramal”. Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu juga mengatakan: “Halalnya adalah
dipertanggungjawabkan, dan haramnya adalah neraka”.
Wahai
saudaraku kaum muslimin, ingatlah terhadap empat hal : Aku tahu bahwa
rezekiku tidak akan dimakan orang lain, maka tenteramlah jiwaku. Aku
tahu bahwa amalku tidak akan dilakukan orang lain, maka akupun
disibukkannya. Aku tahu bahwa kematian akan datang tiba-tiba, maka
segera aku menyiapkannya. Dan aku tahu bahwa diriku tidak akan lepas
dari pantauan Allah, maka aku akan merasa malu kepadaNya. [Lihat Manaqib
Al Iman Ahmad, Ibnu Jauzi, Maktabah Al Hany, Bab As Siaru, Vol. 11,
hlm. 485 dan Wafayat Al A’yan, Op.Cit, Vol. 2, hlm. 27].
Orang
yang mengosongkan hatinya dari keinginan dunia akan merasa ringan tanpa
beban, total menyongsong Allah dan mempersiapkan diri untuk datangnya
perjalanan. Mengosongkan hati untuk dunia yang fana bukan berarti
meninggalkan dunia kerja, enggan mencari kehidupan dunia dan tidak
mencoba berusaha. Islam sendiri memerintahkan untuk bekerja dan
menganggapnya sebagai satu jenis jihad, bila dengan niat yang tulus dan
memenuhi syarat amanah dan ikhlas, serta tidak melanggar syariat. (Ummu
Ahmad)..
maka dari itu , kita harus bersyukur atas apa yang telah allah stw berikan kpada kita :D
Senin, 13 Agustus 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
untuk apa ALLAH SWT menciptakan alam semesta , sedangkan ALLAH SWT tidak membutuhkan hasil ciptaan-Nya
Berkaitan masalah penciptaan Allah terhadap jin dan manusia, ada
perselisihan antara Ahli sunnah dan Mu'tazilah seperti yang
diungkapkan pada aspek satrawinya oleh Prof. Muhyiddin ad Darwisy
dalam bukunya: "I'rab al Qur'an al Karim", bahwa Allah swt tidak
membutuhkan segala sesuatu dari hambaNya, baik berupa
rejeki atau makanan.
Akan tetapi meninjau secara esensial tidak ada perselisihan antara dua golongan ulama tersebut sebab kedua perselisihan itu sama-sama bermuara pada keMahaKuasaan Allah terhadap segala makhluknya. Adapun peribadatan yang Dia sebutkan dalam kalamNya, adalah peribadatan secara kebutuhan makhluk an-sich (saja).
Hal ini diterangkan Allah pada ayat selanjutnya: "Aku tak membutuhkan dari mereka (jin dan manusia) secuil rejeki pun, dan Aku tak meminta mereka untuk memberi makanan " (QS. Adz Dzariyat(51): 57), arti menurut Ibn Abbas: "memberi makanan untuk diri mereka sendiri". Peribadatan sebagai kebutuhan makhluk an-sich tersebut ditekankan dalam ayat ini sebagai argumentasi bahwa justru Allah lah yang memberi rejeki dan memberi makanan kepada mereka, bahkan pada ayat selanjutnya Allah malah menyebutkan dengan asmaNya sendiri: "Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha mempunyai kekuatan yang dahsyat" (QS. Adz Dzariyat (51): 58).
Adapun bila dikaitkan dengan kenapa Allah menciptakan alam semesta, ada baiknya kita kaji kembali nila-nilai yang terkandung dalam firman Allah swt.: " Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta peredaran malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)" (QS. Ali Imran (3);190)
Dalam tafsir al Manar, karangan ulama besar M. Rasyid Ridha pada juz IV, disebutkan mengenai sebab turunya ayat tersebut dari periwayatan Ibnu Abbas, bahwa kaum Quraisy datang pada orang Yahudi dan bertanya: "Dengan apa Musa datang kepada kalian menyerukan firman-firman Allah?", dijawabnya: "Dengan tongkat saktinya dan tangan yang putih memancarkan sinar", kemudian mereka (kaum Quraisy) datang kepada orang Nasrani: "Dengan apa Isa datang pada kalian?" ,dijawabnya: "Dengan menyembuhkan orang buta bawaan dan sakit lepra, serta menghidupkan orang mati. Lalu mereka (kaum Quraisy) datang kepada Nabi saw. dengan pertanyaan yang serupa maka turunlah ayat tersebut.
Disitu M. Rasyid Ridha menerangkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi begitu pula sirkulasi siang dan malam sebagai sarana berfikir bagi ibaad (para hambanya) agar tidak terjebak pada jenis mirracle (atau keajaiban) hingga mereka bisa lebih leluasa untuk beribadah kepada Allah semata dengan menggunakan pikirannya. Dan ulul albab di atas diterangkan orang yang mepunyai "al lub singularnya al bab" yang artinya poros kehidupan, adapun "akal" bernama "al lub" karena mempunyai proses induktif, memandang, mengambil manfaat dan mendapat petunjuk.
Begitulah penafsiran para Ulama, yang menetapkan sebuah peribadatan sebagai kebutuhan manusia dan Allah swt. tidakmembutuhkan segala sesuatu dari ciptaanNya. Wa Allahu A'lam.
www.google.com
Akan tetapi meninjau secara esensial tidak ada perselisihan antara dua golongan ulama tersebut sebab kedua perselisihan itu sama-sama bermuara pada keMahaKuasaan Allah terhadap segala makhluknya. Adapun peribadatan yang Dia sebutkan dalam kalamNya, adalah peribadatan secara kebutuhan makhluk an-sich (saja).
Hal ini diterangkan Allah pada ayat selanjutnya: "Aku tak membutuhkan dari mereka (jin dan manusia) secuil rejeki pun, dan Aku tak meminta mereka untuk memberi makanan " (QS. Adz Dzariyat(51): 57), arti menurut Ibn Abbas: "memberi makanan untuk diri mereka sendiri". Peribadatan sebagai kebutuhan makhluk an-sich tersebut ditekankan dalam ayat ini sebagai argumentasi bahwa justru Allah lah yang memberi rejeki dan memberi makanan kepada mereka, bahkan pada ayat selanjutnya Allah malah menyebutkan dengan asmaNya sendiri: "Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezeki lagi Maha mempunyai kekuatan yang dahsyat" (QS. Adz Dzariyat (51): 58).
Adapun bila dikaitkan dengan kenapa Allah menciptakan alam semesta, ada baiknya kita kaji kembali nila-nilai yang terkandung dalam firman Allah swt.: " Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta peredaran malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)" (QS. Ali Imran (3);190)
Dalam tafsir al Manar, karangan ulama besar M. Rasyid Ridha pada juz IV, disebutkan mengenai sebab turunya ayat tersebut dari periwayatan Ibnu Abbas, bahwa kaum Quraisy datang pada orang Yahudi dan bertanya: "Dengan apa Musa datang kepada kalian menyerukan firman-firman Allah?", dijawabnya: "Dengan tongkat saktinya dan tangan yang putih memancarkan sinar", kemudian mereka (kaum Quraisy) datang kepada orang Nasrani: "Dengan apa Isa datang pada kalian?" ,dijawabnya: "Dengan menyembuhkan orang buta bawaan dan sakit lepra, serta menghidupkan orang mati. Lalu mereka (kaum Quraisy) datang kepada Nabi saw. dengan pertanyaan yang serupa maka turunlah ayat tersebut.
Disitu M. Rasyid Ridha menerangkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi begitu pula sirkulasi siang dan malam sebagai sarana berfikir bagi ibaad (para hambanya) agar tidak terjebak pada jenis mirracle (atau keajaiban) hingga mereka bisa lebih leluasa untuk beribadah kepada Allah semata dengan menggunakan pikirannya. Dan ulul albab di atas diterangkan orang yang mepunyai "al lub singularnya al bab" yang artinya poros kehidupan, adapun "akal" bernama "al lub" karena mempunyai proses induktif, memandang, mengambil manfaat dan mendapat petunjuk.
Begitulah penafsiran para Ulama, yang menetapkan sebuah peribadatan sebagai kebutuhan manusia dan Allah swt. tidakmembutuhkan segala sesuatu dari ciptaanNya. Wa Allahu A'lam.
www.google.com
Langganan:
Postingan (Atom)